Jumat, 24 Januari 2014

PENDAHULUAN



            Sebagian besar koleksi Benda Cagar Budaya yang terdapat di kota Malang, berupa 1) arca, 2) prasasti, 3)benda sarana pemujaan masa megalithik, 4)fragmen bangunan, serta 4) naskah kuno. Benda-benda tersebut merupakan hasil pengumpulan pada masa pemerintah kolonial Belanda di Malang, dengan tempat di halaman kantor Asisten Residen (sekarang kantor Pos Besar) jalan Merdeka Selatan, juga di halaman kantor Telepon dan Telegrap (sekarang kantor Telepon) Jl. Basuki Rachmad, serta di gereja Kayutangan. Benda-benda tersebut tentunya sudah pernah dicatat dan diinventarisasi baik oleh Oudheide Kundige Dienst (Jawatan Purbakala kolonial Belanda), juga oleh Suaka Purbakala Jawa Timur (sekarang BP3 Trowulan). Namun penginventarisasian dilakukan untuk semua Benda Cagar Budaya di seluruh Malang Raya, sehingga nomor inventaris menjadi satu kesatuan antara kota dan kabupaten. Sementara itu pada tahun 1987 Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, juga pernah melakukan pendataan. Atas dasar kondisi yang demikian itulah, maka pendataan dan registrasi ulang yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Malang pada tahun 2011 ini dimaksudkan untuk mendata kembali serta mengelompokkan agar Benda Cagar Budaya yang ada di kota Malang memiliki nomor inventarisasi sendiri, dengan mengacu pada sistem nomorisasi yang dilakukan terakhir oleh BP3 Trowulan pada tahun 1996.

1. Sekilas Tentang Sejarah Malang
            Perjalanan daerah Malang sebagai hunian masyarakat, dapat diidentifikasi sejak masa prasejarah pada fase Neolithik, yaitu suatu jaman kebudayaan yang menghasilkan alat-alat batu yang halus pengerjaannya. Bukti fisik yang sampai kepada kita dari masa neolithik ini adalah alat-alat yang terdiri dari kapak persegi dan alat pahat yang terbuat dari batu kalsedon, serta kapak genggam dari batu andesit hitam yang ditemukan dikawasan ’kacuk’ kecamatan Sukun kota Malang oleh H.R. Van Heekeren (1972:169). Sementara sebaran benda-benda megalithik berupa dolmen (meja batu) ditemukan di daerah Celaket, menhir (tugu batu) di daerah Celaket, batu lumpang ditemukan di Watugong Tlogomas, Sumbersareh-Pisangcandi, Kocek-Bandulan, dan Sentono-Kotalama. Batu dakon di dapatkan di Klayatan dan aliran sungai Metro dekat Gasek, serta batu gores didapatkan di bibir sungai Metro kawasan Tlogomas. Benda-benda tersebut tersebar sepanjang sungai Metro dan Brantas di kawasan Malang. Juga pada jaman selanjutnya yaitu jaman logam, Malang menampilkan tinggalan berupa kalung perunggu dan cincin perunggu (Team Hari Jadi Kab. Malang, 1984:10, Heekeren, 1958:24). Adanya barang-barang logam menunjukkan tingkat kepandaian manusia dalam hal ketrampilan teknis mengenai sistem pengecoran logam. Semua peralatan neolithik, benda-benda megalithik erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat bercocok tanam. Sedangkan perunggu mengindikasikan bahwa masyarakat prasejarah di Malang telah mengenal peradaban tingkat lanjut dalam bentuk pengecoran logam.
Wilayah yang bernama Malang dalam perkembangannya tidak lepas dari pengaruh paham Hindu, sungguh pun kita tahu bahwa daerah Malang merupakan daerah pedalaman yang jauh dari pantai. Masyarakat prasejarah Malang yang awalnya merupakan satuan kecil kelompok-kelompok keluarga yang tinggal di sepanjang aliran Brantas-Metro. Pada awal tarikh Masehi telah menjadi wanua-wanua (desa) dengan federasinya, yaitu watak (kesatuan desa). Apapun alasannya, yang jelas wilayah ’watak’ di Malang tersentuh dan terpengaruh paham Hindu. Kepala watak memproklamirkan diri sebagai raja atau ’narapati’, sedang wilayah ’watak’nya berubah mengikuti sebutan pemimpinnya, yaitu ke-raja-an. Sejak saat itulah dianut sistem pemerintahan baru ala India yang menyelimuti sistem lama.
Bukti pengaruh paham Hindu di Malang itu sudah bukan menjadi berita yang asing lagi. Prasasti Dinoyo tahun 682 saka atau 760 M, merupakan prasasti yang tertua di Jawa Timur. Itulah bukti otentik bahwa masyarakat Malang mulai mengenal tulisan. Huruf prasasti adalah huruf perkembangan dari huruf Pallawa India, untuk itu dinamakan huruf Jawa kuno yang tertua. Akan tetapi bahasanya menggunakan bahasa sastra tinggi, yaitu sansekerta yang berbentuk syair. Dalam prasasti Dinoyo disebutkan adanya sebuah kerajaan yang perhatian besar terhadap upacara keagamaan. Untuk itu didirikan asrama kependetaan lengkap dengan rumah besar untuk tempat tinggal para brahmana tamu. Penelitian di lapangan di daerah Dinoyo, tepatnya di lingkungan Watugong Tlogomas, ditemukan sejumlah 13 batu gong. Fungsi dari batu gong  diduga merupakan suatu umpak dari tiang penyangga bangunan. Di sekitarnya terdapat temuan pondasi dari bata merah serta sisa-sisa lantai dari bata merah terpendam di dalam tanah dengan kedalaman ± 30 cm, yang menurut informasi penduduk luas lantai tersebut berukuran sekitar 25x75m. Tidak jauh dari kemungkinan di sanalah letak asrama perguruan keagamaan yang dimaksud di dalam prasasti Dinoyo.
 Sumber lain yang memberikan informasi tentang adanya aktifitas sosial dan keagamaan di Malang yaitu prasasti Dinoyo ke 2 yang ditemukan tahun 1985 di jalan MT Haryono, ketika orang menggali tanah di sepanjang jalan MT Haryono untuk saluran air. Prasasti yang berangka tahun 851 M dan 898 M tersebut memuat berita tentang sawah wakaf untuk asrama perguruan yang dipimpin oleh Dang Hyang Guru Candik yang diberikan pada tahun 851 M, telah dijual oleh para tetua desa kepada para tetua desa lain. Kasus ini kemudian diketahui oleh keturunan pejabat yang memberi sawah wakaf. Sehingga pada tahun 898 M sawah itu ditebus kembali dan diserahkan lagi kepada asrama perguruan (Suwardono, 2004:77-79). Dari situ dapat diketahui adanya asrama perguruan yang merupakan wiyata mandala keagamaan. Apalagi disebutkan adanya tokoh Dang Hyang Guru, yang jaman sekarang tokoh ini setingkat dengan guru besar.
Masa pemerintahan Pu Sindok dari kerajaan Medang yang hijrah ke Jawa Timur, daerah Malang tetap merupakan daerah yang penting. Sebagian besar prasasti Pu Sindok ditemukan di daerah Malang. Salah satunya adalah prasasti Muncang yang kini disimpan di Balai Penyelamatan Benda Cagar Budaya Pu Purwa kota Malang, merupakan salah satu bukti perhatian Pu Sindok terhadap perkembangan daerah Malang. Juga Prasasti Kanuruhan (Bunul) yang berangka tahun 935 M yang dikeluarkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang atas nama Pu Sindok.
Masa pemerintahan sesudahnya, tampaknya daerah Malang tidak ditinggalkan. Di sekitar Dinoyo, di dukuh ’Candri’ kelurahan Merjosari kecamatan Lowokwaru, ditemukan sejumlah 10 buah umpak batu berukuran besar berbentuk bundar dengan permukaan datar (sekarang tinggal 8 dan berada di kampus UNIGA). Tidak jauh dari tempat tersebut di sebelah timurnya terdapat tinggalan arkeologis lain, yaitu arca Singa yang diduga merupakan sebuah stambha (tugu). Arca singa tersebut dalam posisi jongkok, dan pada permukaan bagian dada dipahatkan angka tahun bentuk ’kwadran’, yang sementara ini diduga berangka tahun 941 saka atau tahun 1019 M (hasil penelitian di lapangan). Di sebelah barat situs batu umpak, yaitu di lahan yang sekarang gedung Pascasarjana UNIGA, ditemukan arca Budha Amoghasiddhi dengan posisi berdiri dari perunggu (sekarang disimpan di ruang Pascasarjana UNIGA).
Indikator umpak menujukkan adanya sebuah bangunan rumah besar, dan tentunya bukanlah rumah besar keraton atau istana. Alasan tersebut dikemukakan berkenaan dengan penemuan arca Budha dari perunggu tidak jauh dari tempat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tempat itu merupakan perguruan agama Budha. Arca stambha singa menguatkan dugaan ini. Arca singa yang ditemukan hanya satu itu tentunya bukanlah dimaksudkan sebagai arca penjaga pintu masuk bangunan candi seperti yang terdapat pada candi Borobudur. Itu merupakan ’stambha’ singa yang dimaksudkan sebagai tugu lambang kekuatan agama Budha yang ditempatkan di halaman ’Vihara’ perguruan. Di dalam perjalanan sejarahnya, sang Budha Sidharta Gautama mendapat julukan ’Singa’ dari suku Sakya. Dengan argumen ketiga benda temuan tersebut nyatalah bahwa di daerah Candri-Merjosari dahulunya pernah menjadi asrama perguruan agama Budha.
Jaman pemerintahan kerajaan Singasari dan Majapahit, Malang justru menjadi pusat pemerintahan (pada masa Singasari) serta menjadi daerah bagian dari kerajaan Majapahit. Oleh karena itu aktifitas keagamaan di daerah Malang sangat diperhatikan oleh pemerintahan Majapahit. Masih di sekitar Dinoyo, di seberang timur sungai Brantas  terdapat sebuah dukuh bernama ’mBioro’. Dukuh ini masuk wilayah kelurahan Jatimulyo kecamatan Lowokwaru. Di sekitarnya terdapat situs telaga yang dilihat dari sisa-sisanya merupakan telaga purba dengan sisa-sisa bata merah kuno berserakan di dalam telaga. Tempat situs telaga itu berada bernama dukuh ’Panggung’, dan di dekatnya terdapat dukuh ’Bukur’. Konstelasi wilayah dukuh ’mBioro’, dukuh ’Panggung’, dukuh ’Bukur’, dan situs telaga, merupakan petunjuk bahwa di daerah tersebut pada masa lampau merupakan sebuah asrama perguruan keagamaan. Nama ’mBioro’ merupakan alih bunyi dari kata ’Vihara’, yaitu tempat dan asrama perguruan, bisa agama Budha, bisa agama Hindu. Telaga mempunyai fungsi sebagai air suci (amerta), yang dalam hal keagamaan,  ’amerta’ sangat penting  sebagai sarana peribadatan, dan oleh karena itu selalu berhubungan dengan asrama perguruan. Sementara kata ’panggung’ menunjukkan bahwa dahulu terdapat rumah besar dengan lantai tinggi atau juga rumah besar yang bertingkat. Sedangkan kata ’Bukur’ adalah sebutan untuk bangunan penyerta yang bertingkat yang berada di halaman, di dalam asrama perguruan keagamaan. Atas dasar bukti-bukti tersebut dapat dikatakan bahwa wilayah ’mBioro-Panggung-Bukur’ dahulunya merupakan asrama perguruan keagamaan yang besar.
Sebenarnya masih banyak lagi bukti-bukti peninggalan masa Hindu Budha di Malang yang mengindikasikan sebuah asrama perguruan keagamaan, seperti di daerah ’Ngreco’ Sumbersari-Bandulan kecamatan Sukun. Di sana dahulu banyak ditemukan arca-arca kecil, batu kenong, serta banyaknya bata merah. Indikasi tersebut dapat diketahui oleh penduduk sekitar tahun 1950-an. Sekarang daerah tersebut sudah menjadi lahan pekuburan. Juga di  daerah Kabalon Kedungkandang seperti yang diberitakan oleh Pararaton, di sekitar pertemuan sungai Brantas-Bango di daerah Kutobedah banyak ditemukan arca-arca dan juga tempat-tempat semacam panepen (mandala kadewaguruan).  di Polowijen sekitar makam umum yang juga diberitakan oleh Pararaton, terdapat fragmen bata merah sisa-sisa pondasi bangunan rumah besar serta sebuah batu umpak berbentuk kenong (gong kecil), juga temuan sebuah goa/lorong bawah tanah di RT01 RW03 dan RT03 RW03. Di dalamnya terdapat indikasi yang menunjuk kepada sebuah pertapaan. 

2. Sekilas Tentang Arca
            Benda Cagar Budaya berupa arca, dalam ilmu arkeologi digolongkan dalam suatu cabang ilmu yang disebut ‘Ikonografi’. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, Icon (Eicon) yang berarti ‘serupa’, yaitu suatu benda yang menggambarkan tokoh seseorang atau dewa yang dikeramatkan. Grapien artinya ‘uraian’ atau ‘perincian’. Jadi Ikonografi berarti menguraikan atau memerinci suatu benda yang menggambarkan tokoh seseorang atau dewa yang dikeramatkan di atas suatu lukisan, relief, mosaic, yang khusus dimaksudkan untuk dipuja atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara keagamaan yang berkenaan dengan pemujaan dewa-dewa tertentu (Ratnaesih, 1984:1). Dalam bahasa Sansekerta dikenal istilah ‘arca’ yang secara etimologis berarti badan atau tubuh. Sedangkan istilah ‘patung’ diduga berasal dari bahasa Indonesia asli.
            Yang dimaksud dengan ilmu arca dalam ikonografi sebenarnya berhubungan dengan seni dan teknis pembuatan arca dewa tertentu dalam agama Hindu maupun Budha. Karena arca merupakan bentuk ‘antropomorphis’ (perwujudan manusia) dari dewa-dewa, maka pembuatannya terkonsentrasi pada: gaya, cara pembuatan, serta ketentuan pembuatan. Para pemahat arca dahulu berpedoman kepada sebuah kitab tuntunan yang disebut ‘silpasastra’. Oleh karena itu para senimannya disebut ‘Åšilpin’. Juga disebut ‘Yogin’, karena cara membuatnya melalui ‘yoga’ (samadi). Adapun macam-macam kitab silpasastra itu di antaranya adalah: kitab Visnudharmottaram, Pratima Manalaksanam, Suprabedhagama, Vaikhanasagama, Rupamandana, dan masih banyak lagi cabang-cabang lainnya.
            Di Indonesia, sebagian besar arca-arca dibuat berhubungan dengan bangunan pemujaan (candi), apakah bangunan pemujaan tersebut dibangun oleh pihak kerajaan ataukah dibuat oleh pejabat daerah, atau pula dibuat oleh masyarakat desa. Dari sebab itulah nantinya dapat dilihat di lapangan bahwa arca-arca yang dibuat oleh kelompok pertama, maka arca-arcanya lebih bagus karena para Silpin merupakan pengrajin dari pusat (istana), sedangkan arca-arca yang dibuat oleh pejabat di daerah, arca-arcanya kelihatan kurang proporsional. Apalagi arca-arca yang dikerjakan oleh pemahat dari desa, maka arca-arca tersebut tampak lebih tidak mengindahkan aturan pembuatan lagi. Demikianlah dalam kenyataannya dapat dibandingkan arca-arca yang terkumpul di Malang, ada arca yang bagus pembuatannya, ada yang sedang, dan ada pula yang kurang bagus.

3. Sekilas Tentang Prasasti
            Prasasti berasal dari bahasa sansekerta yang artinya: pujian, tulisan yang berupa sajak untuk memuja raja, yang berhubungan dengan anugerah. Secara umum definisi prasasti adalah ‘suatu putusan resmi, tertulis di atas batu atau logam, dirumuskan menurut kaidah tertentu, berisi anugerah dan hak, yang diberikan melalui upacara’. Menurut jenisnya, prasasti dapat dibedakan menjadi:
a. Prasasti Asli
            Prasasti asli adalah prasasti yang dibuat pada saat itu juga. Prasasti batu biasanya diletakkan di tempat yang berhubungan dengan maklumat yang terkandung di dalamnya. Sedangkan salinannya dibuat di atas logam (biasanya perunggu) untuk disimpan di istana, dan juga disimpan oleh si penerima anugerah.
b. Prasasti Tinulad/Turunan
            Prasasti yang berasal dari jaman kemudian disebabkan prasasti yang asli rusak. Contoh: prasasti pada masa Sindok, tetapi dilihat dari bentuk hurufnya ditulis pada masa Majapahit. Ini berarti prasasti asli pada masa Sindok tersebut sudah rusak, sehingga perlu disalin di atas logam yang baru oleh penguasa masa Majapahit.

4. Benda Sarana Pemujaan Masa Megalithik
            Istilah ‘Megalithik’ pada umumnya diterjemahkan sebagai ‘batu besar’. Sehingga produk-produk dari jaman ini adalah Benda Cagar Budaya dalam bentuk batu yang pada umumnya berukuran besar. Namun dalam lingkup pengertiannya, merupakan hasil kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat yang sistem kepercayaannya sudah meningkat dibandingkan pada masa Mesolithik. Kepercayaan terhadap adanya kekuatan dinamis dan animis tersebut menghasilkan benda-benda ‘batu besar’ (megalithik) sebagai sarana pemujaan. Pada masa akhir kerajaan Majapahit, tradisi megalithik ini timbul kembali. Sebagai akibat lunturnya pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia, sehingga timbul kembali kebudayaan asli Indonesia, dan lebih dikenal dengan sebutan kebudayaan Megalithik Muda.