Sebagian
besar koleksi Benda Cagar Budaya yang terdapat di kota Malang, berupa 1) arca,
2) prasasti, 3)benda sarana pemujaan masa megalithik, 4)fragmen bangunan, serta
4) naskah kuno. Benda-benda tersebut merupakan hasil pengumpulan pada masa
pemerintah kolonial Belanda di Malang, dengan tempat di halaman kantor Asisten
Residen (sekarang kantor Pos Besar) jalan Merdeka Selatan, juga di halaman
kantor Telepon dan Telegrap (sekarang kantor Telepon) Jl. Basuki Rachmad, serta
di gereja Kayutangan. Benda-benda tersebut tentunya sudah pernah dicatat dan
diinventarisasi baik oleh Oudheide Kundige Dienst (Jawatan Purbakala kolonial
Belanda), juga oleh Suaka Purbakala Jawa Timur (sekarang BP3 Trowulan). Namun
penginventarisasian dilakukan untuk semua Benda Cagar Budaya di seluruh Malang
Raya, sehingga nomor inventaris menjadi satu kesatuan antara kota dan kabupaten.
Sementara itu pada tahun 1987 Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Malang, juga pernah melakukan pendataan. Atas dasar kondisi
yang demikian itulah, maka pendataan dan registrasi ulang yang dilakukan oleh
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Malang pada tahun 2011 ini dimaksudkan
untuk mendata kembali serta mengelompokkan agar Benda Cagar Budaya yang ada di
kota Malang memiliki nomor inventarisasi sendiri, dengan mengacu pada sistem
nomorisasi yang dilakukan terakhir oleh BP3 Trowulan pada tahun 1996.
1. Sekilas Tentang Sejarah Malang
Perjalanan
daerah Malang sebagai hunian
masyarakat, dapat diidentifikasi sejak masa prasejarah pada fase Neolithik,
yaitu suatu jaman kebudayaan yang menghasilkan alat-alat batu yang halus
pengerjaannya. Bukti fisik yang sampai kepada kita dari masa neolithik ini
adalah alat-alat yang terdiri dari kapak persegi dan alat pahat yang terbuat
dari batu kalsedon, serta kapak genggam dari batu andesit hitam yang ditemukan
dikawasan ’kacuk’ kecamatan Sukun kota Malang oleh H.R. Van Heekeren
(1972:169). Sementara sebaran benda-benda megalithik berupa dolmen (meja batu)
ditemukan di daerah Celaket, menhir (tugu batu) di daerah Celaket, batu lumpang
ditemukan di Watugong Tlogomas, Sumbersareh-Pisangcandi, Kocek-Bandulan, dan
Sentono-Kotalama. Batu dakon di dapatkan di Klayatan dan aliran sungai Metro
dekat Gasek, serta batu gores didapatkan di bibir sungai Metro kawasan
Tlogomas. Benda-benda tersebut tersebar sepanjang sungai Metro dan Brantas di
kawasan Malang. Juga pada jaman selanjutnya yaitu jaman logam, Malang
menampilkan tinggalan berupa kalung perunggu dan cincin perunggu (Team Hari
Jadi Kab. Malang, 1984:10, Heekeren, 1958:24). Adanya barang-barang logam
menunjukkan tingkat kepandaian manusia dalam hal ketrampilan teknis mengenai
sistem pengecoran logam. Semua peralatan neolithik, benda-benda megalithik erat
hubungannya dengan kehidupan masyarakat bercocok tanam. Sedangkan perunggu
mengindikasikan bahwa masyarakat prasejarah di Malang telah mengenal peradaban
tingkat lanjut dalam bentuk pengecoran logam.
Wilayah yang bernama Malang dalam perkembangannya
tidak lepas dari pengaruh paham Hindu, sungguh pun kita tahu bahwa daerah Malang
merupakan daerah pedalaman yang jauh dari pantai. Masyarakat prasejarah Malang
yang awalnya merupakan satuan kecil kelompok-kelompok keluarga yang tinggal di
sepanjang aliran Brantas-Metro. Pada awal tarikh Masehi telah menjadi wanua-wanua
(desa) dengan federasinya, yaitu watak (kesatuan desa). Apapun alasannya, yang
jelas wilayah ’watak’ di Malang tersentuh dan terpengaruh paham Hindu. Kepala
watak memproklamirkan diri sebagai raja atau ’narapati’, sedang wilayah
’watak’nya berubah mengikuti sebutan pemimpinnya, yaitu ke-raja-an. Sejak saat
itulah dianut sistem pemerintahan baru ala India yang menyelimuti sistem lama.
Bukti pengaruh paham Hindu di Malang itu sudah
bukan menjadi berita yang asing lagi. Prasasti Dinoyo tahun 682 saka atau 760
M, merupakan prasasti yang tertua di Jawa Timur. Itulah bukti otentik bahwa
masyarakat Malang mulai mengenal tulisan. Huruf prasasti adalah huruf
perkembangan dari huruf Pallawa India, untuk itu dinamakan huruf Jawa kuno yang
tertua. Akan tetapi bahasanya menggunakan bahasa sastra tinggi, yaitu
sansekerta yang berbentuk syair. Dalam prasasti Dinoyo disebutkan adanya sebuah
kerajaan yang perhatian besar terhadap upacara keagamaan. Untuk itu didirikan asrama
kependetaan lengkap dengan rumah besar untuk tempat tinggal para brahmana tamu.
Penelitian di lapangan di daerah Dinoyo, tepatnya di lingkungan Watugong
Tlogomas, ditemukan sejumlah 13 batu gong. Fungsi dari batu gong diduga merupakan suatu umpak dari tiang
penyangga bangunan. Di sekitarnya terdapat temuan pondasi dari bata merah serta
sisa-sisa lantai dari bata merah terpendam di dalam tanah dengan kedalaman ± 30
cm, yang menurut informasi penduduk luas lantai tersebut berukuran sekitar 25x75m.
Tidak jauh dari kemungkinan di sanalah letak asrama perguruan keagamaan yang
dimaksud di dalam prasasti Dinoyo.
Sumber lain
yang memberikan informasi tentang adanya aktifitas sosial dan keagamaan di Malang
yaitu prasasti Dinoyo ke 2 yang ditemukan tahun 1985 di jalan MT Haryono,
ketika orang menggali tanah di sepanjang jalan MT Haryono untuk saluran air.
Prasasti yang berangka tahun 851 M dan 898 M tersebut memuat berita tentang
sawah wakaf untuk asrama perguruan yang dipimpin oleh Dang Hyang Guru Candik
yang diberikan pada tahun 851 M, telah dijual oleh para tetua desa kepada para
tetua desa lain. Kasus ini kemudian diketahui oleh keturunan pejabat yang
memberi sawah wakaf. Sehingga pada tahun 898 M sawah itu ditebus kembali dan
diserahkan lagi kepada asrama perguruan (Suwardono, 2004:77-79). Dari situ
dapat diketahui adanya asrama perguruan yang merupakan wiyata mandala
keagamaan. Apalagi disebutkan adanya tokoh Dang Hyang Guru, yang jaman sekarang
tokoh ini setingkat dengan guru besar.
Masa pemerintahan Pu Sindok dari kerajaan Medang
yang hijrah ke Jawa Timur, daerah Malang tetap merupakan daerah yang penting.
Sebagian besar prasasti Pu Sindok ditemukan di daerah Malang. Salah satunya
adalah prasasti Muncang yang kini disimpan di Balai Penyelamatan Benda Cagar
Budaya Pu Purwa kota Malang, merupakan salah satu bukti perhatian Pu Sindok
terhadap perkembangan daerah Malang. Juga Prasasti Kanuruhan (Bunul) yang
berangka tahun 935 M yang dikeluarkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang atas
nama Pu Sindok.
Masa pemerintahan sesudahnya, tampaknya daerah Malang
tidak ditinggalkan. Di sekitar Dinoyo, di dukuh ’Candri’ kelurahan Merjosari
kecamatan Lowokwaru, ditemukan sejumlah 10 buah umpak batu berukuran besar
berbentuk bundar dengan permukaan datar (sekarang tinggal 8 dan berada di
kampus UNIGA). Tidak jauh dari tempat tersebut di sebelah timurnya terdapat
tinggalan arkeologis lain, yaitu arca Singa yang diduga merupakan sebuah
stambha (tugu). Arca singa tersebut dalam posisi jongkok, dan pada permukaan
bagian dada dipahatkan angka tahun bentuk ’kwadran’, yang sementara ini diduga
berangka tahun 941 saka atau tahun 1019 M (hasil penelitian di lapangan). Di
sebelah barat situs batu umpak, yaitu di lahan yang sekarang gedung
Pascasarjana UNIGA, ditemukan arca Budha Amoghasiddhi dengan posisi berdiri
dari perunggu (sekarang disimpan di ruang Pascasarjana UNIGA).
Indikator umpak menujukkan adanya sebuah bangunan
rumah besar, dan tentunya bukanlah rumah besar keraton atau istana. Alasan
tersebut dikemukakan berkenaan dengan penemuan arca Budha dari perunggu tidak
jauh dari tempat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tempat itu merupakan
perguruan agama Budha. Arca stambha singa menguatkan dugaan ini. Arca singa
yang ditemukan hanya satu itu tentunya bukanlah dimaksudkan sebagai arca
penjaga pintu masuk bangunan candi seperti yang terdapat pada candi Borobudur.
Itu merupakan ’stambha’ singa yang dimaksudkan sebagai tugu lambang kekuatan
agama Budha yang ditempatkan di halaman ’Vihara’ perguruan. Di dalam perjalanan
sejarahnya, sang Budha Sidharta Gautama mendapat julukan ’Singa’ dari suku
Sakya. Dengan argumen ketiga benda temuan tersebut nyatalah bahwa di daerah
Candri-Merjosari dahulunya pernah menjadi asrama perguruan agama Budha.
Jaman pemerintahan kerajaan Singasari dan Majapahit,
Malang justru menjadi pusat pemerintahan (pada masa Singasari) serta menjadi
daerah bagian dari kerajaan Majapahit. Oleh karena itu aktifitas keagamaan di
daerah Malang sangat diperhatikan oleh pemerintahan Majapahit. Masih di sekitar
Dinoyo, di seberang timur sungai Brantas
terdapat sebuah dukuh bernama ’mBioro’. Dukuh ini masuk wilayah
kelurahan Jatimulyo kecamatan Lowokwaru. Di sekitarnya terdapat situs telaga
yang dilihat dari sisa-sisanya merupakan telaga purba dengan sisa-sisa bata
merah kuno berserakan di dalam telaga. Tempat situs telaga itu berada bernama
dukuh ’Panggung’, dan di dekatnya terdapat dukuh ’Bukur’. Konstelasi wilayah
dukuh ’mBioro’, dukuh ’Panggung’, dukuh ’Bukur’, dan situs telaga, merupakan
petunjuk bahwa di daerah tersebut pada masa lampau merupakan sebuah asrama
perguruan keagamaan. Nama ’mBioro’ merupakan alih bunyi dari kata ’Vihara’,
yaitu tempat dan asrama perguruan, bisa agama Budha, bisa agama Hindu. Telaga
mempunyai fungsi sebagai air suci (amerta), yang dalam hal keagamaan, ’amerta’ sangat penting sebagai sarana peribadatan, dan oleh karena
itu selalu berhubungan dengan asrama perguruan. Sementara kata ’panggung’
menunjukkan bahwa dahulu terdapat rumah besar dengan lantai tinggi atau juga
rumah besar yang bertingkat. Sedangkan kata ’Bukur’ adalah sebutan untuk
bangunan penyerta yang bertingkat yang berada di halaman, di dalam asrama
perguruan keagamaan. Atas dasar bukti-bukti tersebut dapat dikatakan bahwa
wilayah ’mBioro-Panggung-Bukur’ dahulunya merupakan asrama perguruan keagamaan
yang besar.
Sebenarnya masih banyak lagi bukti-bukti
peninggalan masa Hindu Budha di Malang yang mengindikasikan sebuah asrama
perguruan keagamaan, seperti di daerah ’Ngreco’ Sumbersari-Bandulan kecamatan
Sukun. Di sana dahulu banyak ditemukan arca-arca kecil, batu kenong, serta
banyaknya bata merah. Indikasi tersebut dapat diketahui oleh penduduk sekitar
tahun 1950-an. Sekarang daerah tersebut sudah menjadi lahan pekuburan. Juga
di daerah Kabalon Kedungkandang seperti
yang diberitakan oleh Pararaton, di sekitar pertemuan sungai Brantas-Bango di
daerah Kutobedah banyak ditemukan arca-arca dan juga tempat-tempat semacam
panepen (mandala kadewaguruan). di
Polowijen sekitar makam umum yang juga diberitakan oleh Pararaton, terdapat fragmen
bata merah sisa-sisa pondasi bangunan rumah besar serta sebuah batu umpak
berbentuk kenong (gong kecil), juga temuan sebuah goa/lorong bawah tanah di
RT01 RW03 dan RT03 RW03. Di dalamnya terdapat indikasi yang menunjuk kepada
sebuah pertapaan.
2. Sekilas Tentang Arca
Benda
Cagar Budaya berupa arca, dalam ilmu arkeologi digolongkan dalam suatu cabang
ilmu yang disebut ‘Ikonografi’. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, Icon
(Eicon) yang berarti ‘serupa’, yaitu suatu benda yang menggambarkan tokoh seseorang
atau dewa yang dikeramatkan. Grapien artinya ‘uraian’ atau ‘perincian’. Jadi Ikonografi
berarti menguraikan atau memerinci suatu benda yang menggambarkan tokoh
seseorang atau dewa yang dikeramatkan di atas suatu lukisan, relief, mosaic,
yang khusus dimaksudkan untuk dipuja atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan
upacara keagamaan yang berkenaan dengan pemujaan dewa-dewa tertentu (Ratnaesih,
1984:1). Dalam bahasa Sansekerta dikenal istilah ‘arca’ yang secara etimologis
berarti badan atau tubuh. Sedangkan istilah ‘patung’ diduga berasal dari bahasa
Indonesia asli.
Yang
dimaksud dengan ilmu arca dalam ikonografi sebenarnya berhubungan dengan seni
dan teknis pembuatan arca dewa tertentu dalam agama Hindu maupun Budha. Karena
arca merupakan bentuk ‘antropomorphis’ (perwujudan manusia) dari dewa-dewa,
maka pembuatannya terkonsentrasi pada: gaya, cara pembuatan, serta ketentuan
pembuatan. Para pemahat arca dahulu berpedoman kepada sebuah kitab tuntunan
yang disebut ‘silpasastra’. Oleh karena itu para senimannya disebut ‘Åšilpin’.
Juga disebut ‘Yogin’, karena cara membuatnya melalui ‘yoga’ (samadi). Adapun
macam-macam kitab silpasastra itu di antaranya adalah: kitab Visnudharmottaram,
Pratima Manalaksanam, Suprabedhagama, Vaikhanasagama, Rupamandana, dan masih
banyak lagi cabang-cabang lainnya.
Di
Indonesia, sebagian besar arca-arca dibuat berhubungan dengan bangunan pemujaan
(candi), apakah bangunan pemujaan tersebut dibangun oleh pihak kerajaan ataukah
dibuat oleh pejabat daerah, atau pula dibuat oleh masyarakat desa. Dari sebab
itulah nantinya dapat dilihat di lapangan bahwa arca-arca yang dibuat oleh
kelompok pertama, maka arca-arcanya lebih bagus karena para Silpin merupakan
pengrajin dari pusat (istana), sedangkan arca-arca yang dibuat oleh pejabat di daerah,
arca-arcanya kelihatan kurang proporsional. Apalagi arca-arca yang dikerjakan
oleh pemahat dari desa, maka arca-arca tersebut tampak lebih tidak mengindahkan
aturan pembuatan lagi. Demikianlah dalam kenyataannya dapat dibandingkan
arca-arca yang terkumpul di Malang, ada arca yang bagus pembuatannya, ada yang
sedang, dan ada pula yang kurang bagus.
3. Sekilas Tentang Prasasti
Prasasti
berasal dari bahasa sansekerta yang artinya: pujian, tulisan yang berupa sajak
untuk memuja raja, yang berhubungan dengan anugerah. Secara umum definisi
prasasti adalah ‘suatu putusan resmi, tertulis di atas batu atau logam,
dirumuskan menurut kaidah tertentu, berisi anugerah dan hak, yang diberikan
melalui upacara’. Menurut jenisnya, prasasti dapat dibedakan menjadi:
a. Prasasti Asli
Prasasti
asli adalah prasasti yang dibuat pada saat itu juga. Prasasti batu biasanya
diletakkan di tempat yang berhubungan dengan maklumat yang terkandung di
dalamnya. Sedangkan salinannya dibuat di atas logam (biasanya perunggu) untuk disimpan
di istana, dan juga disimpan oleh si penerima anugerah.
b. Prasasti Tinulad/Turunan
Prasasti
yang berasal dari jaman kemudian disebabkan prasasti yang asli rusak. Contoh:
prasasti pada masa Sindok, tetapi dilihat dari bentuk hurufnya ditulis pada
masa Majapahit. Ini berarti prasasti asli pada masa Sindok tersebut sudah
rusak, sehingga perlu disalin di atas logam yang baru oleh penguasa masa
Majapahit.
4. Benda Sarana Pemujaan Masa
Megalithik
Istilah
‘Megalithik’ pada umumnya diterjemahkan sebagai ‘batu besar’. Sehingga
produk-produk dari jaman ini adalah Benda Cagar Budaya dalam bentuk batu yang
pada umumnya berukuran besar. Namun dalam lingkup pengertiannya, merupakan
hasil kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat yang sistem kepercayaannya
sudah meningkat dibandingkan pada masa Mesolithik. Kepercayaan terhadap adanya
kekuatan dinamis dan animis tersebut menghasilkan benda-benda ‘batu besar’
(megalithik) sebagai sarana pemujaan. Pada masa akhir kerajaan Majapahit,
tradisi megalithik ini timbul kembali. Sebagai akibat lunturnya pengaruh
kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia, sehingga timbul kembali kebudayaan
asli Indonesia, dan lebih dikenal dengan sebutan kebudayaan Megalithik Muda.